⛸️ Pusat Konservasi Hutan Lumut Berada Di Provinsi
Kebakaranhutan di musim kemarau bukan hanya terjadi pada masa kini, tapi juga terjadi di masa Jawa Kuno. Ada beberapa petunjuk yang bisa menggambarkan kebakaran hutan pada masa lalu. Salah satunya Prasasti Katiden II atau Prasasti Lumpang. Prasasti tembaga itu ditemukan di Desa Katiden, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, pada lereng timur Gunung Arjuna. Gunung Arjuna []
PusatPelayanan BPS Provinsi Bali; Peraturan Kepala BPS No 38 tahun 2020; Berita; Senarai Rencana Terbit Beranda » Kehutanan » Luas Hutan Wisata Menurut Fungsinya dan Banyaknya Pengunjung Kawasan Hutan Konservasi di Provinsi Bali, 2018-2021. Sosial dan Kependudukan. Gender. Geografi. Iklim
Dilemaantara pembangunan ekonomi dan menjaga hutan sedang dihadapi Kabupaten Supiori, Papua.
BKSDAbeserta sejumlah pihak terkait melepasliarkan seekor orang utan (Pongo pygmaeus) jantan yang sebelumnya diduga tersesat dan masuk kampung di Desa
Hutanlumut terdapat di daerah yang memiliki ketinggian 2500 m. pohon-pohonnya kerdil dan juga ditumbuhi lumut dan lumut kerak. - Sabana Sabana adalah padang rumput tropis yang diselingi pohon-pohon besar. Umumnya sabana merupakan daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Sabana antara lain terdapat di Australia dan Brasilia.
Konservasiadalah pelestarian atau perlindungan. 97 hubungan. Komunikasi Kota Malang, Kukang, Kura-kura, Lahan basah, Manajemen hutan, Manan Foundation, Mangga Pulau Penyaliran Barat, Pulau Penyaliran Timur, Pulau Sempu, Pulau Tengah, Pulau Tikus, Pulau Yu Besar, Pulau Yu Kecil, Pusat Studi Satwa Primata, Robby Ko King
BeliLumut Moss Online terdekat di Provinsi Yogyakarta berkualitas dengan harga murah terbaru 2021 di Tokopedia! Pembayaran mudah, pengiriman cepat & bisa cicil 0%
W4j4a. Kabar Baru 22 Oktober 2020 Provinsi konservasi Papua Barat berumur lima tahun. Tata ulang kawasan konservasi dan konversi lahan mendapat tantangan setelah terbit omnibus law Undang-Undang UU Cipta Kerja. PROVINSI Papua Barat telah lima tahun menjadi “provinsi konservasi”. Pada 19 Oktober 2020, provinsi ini mensosialisasikan Peraturan Daerah Khusus Perdasus Nomor 10 Tahun 2019 tentang rencana pembangunan berkelanjutan, sebagai tindak lanjut komitmen mereka atas deklarasi menjadi provinsi konservasi lima tahun lalu. Kebijakan daerah ini sebetulnya ditetapkan pada 29 November 2019, tapi peluncuran dan sosialisasinya baru kali ini. Peraturan daerah khusus nomor 10 itu di antaranya tekad Papua Barat melindungi 70% hutan dan 50% habitat laut. Pembangunan provinsi konservasi cukup ambisius, di tengah fakta bahwa Papua Barat menduduki posisi nomor 2 termiskin di antara 34 provinsi di Indonesia. Sumber pendapatan daerahnya sebagian besar diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam dengan hamper separuh belanja, dari total penerimaan Rp 4 triliun, untuk pegawai dan belanja barang. Menurut survei Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2015, Taman Nasional Teluk Cendrawasih seluas 1,45 juta hektare—taman nasional perairan terluas di Indonesia—keragaman hayatinya berada dalam kondisi buruk, dengan tutupan karang keras di zona inti hanya 13-40%. Tata ruang juga tak menggembirakan. Sebanyak 64% merupakan lokasi areal penggunaan lain untuk pertanian, perkebunan, dan tujuan konversi lain. Karena itu Peraturan Daerah Khusus Nomor 10 itu pada prinsipnya akan menata ulang peruntukan lahan di Papua Barat dengan membaliknya dari 34% kawasan konservasi darat menjadi 70%. Dengan penataan ini, pemerintah Papua Barat hendak mengatur izin-izin terutama di lokasi pemanfaatan dengan menurunkannya dari 64% menjadi 30%. Penataan ini muncul di waktu yang tepat. Tak hanya karena Papua memiliki kekayaan flora terbesar di dunia, juga karena terbitnya omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang menghapus ketentuan batas minimal hutan 30% per pulau atau daerah aliran sungai di pasal 18 Undang-Undang Kehutanan. Penataan lahan di Papua Barat akan mencegah konversi hutan untuk alasan industrialisasi. Menurut Vice President the Conservation International Ketut Sarjana Putra, potensi hutan salah satunya berada di DAS. Ketika hutan ini dikonversi, ia berisiko tinggi terhadap lingkungan seperti banjir dan longsor. “Karena itu yang dibutuhkan dalam peraturan daerah itu adalah rencana teknis berikutnya,” kata dia. “Perlu panduan teknis dalam implementasi sehingga sinkron dengan analisis risiko, terutama yang menyangkut dengan aturan-aturan di Undang-Undang Cipta Kerja.” Kepala Sub Bidang Diseminasi Badan Penelitian dan Pengembangan Ezrom Batorinding, mengatakan ada makna di balik strategi pengembangan wilayah provinsi ini. “Inisiatif dan komitmen yang antimainstream ini untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya bagi generasi mendatang, terutama memastikan akan kebutuhan standar hidup bagi masyarakat adat asli Papua,” kata Ezrom dalam keterangan tertulis. Ezrom mengatakan penyelenggaraan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi akan dilakukan secara bertahap, dalam waktu yang tidak singkat dan harus melibatkan berbagai pihak secara sungguh-sungguh. “Tahapan atau proses tersebut harus dilakukan secara terus-menerus dan menjadi siklus yang tidak terputus,” kata dia. Setelah peraturan daerah ini akan ada penyusunan aturan pelaksana atau operasional, dalam peraturan gubernur dan aturan pelaksana/operasional lainnya. Lalu penyiapan dan pembentukan kelembagaan, yakni kajian pembentukan kelembagaan daerah yang sesuai atau diperlukan dan pembentukannya itu sendiri. Berikutnya adalah integrasi dan sinkronisasi dalam program dan kebijakan daerah, dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, rencana kerja pemerintah daerah, hingga program teknis di tiap dinas, serta sinkronisasi program dan kebijakan antar badan. Selanjutnya adalah pemantauan, evaluasi, dan pembelajaran. Menurut Ezrom, caranya melalui penyusunan alat pemantauan dan evaluasi secara partisipatif, pemantauan dan evaluasi secara berkala, publikasi pemantauan dan evaluasi untuk mendapatkan umpan balik, serta penyusunan pembelajaran sebagai bahan perbaikan atau penyempurnaan regulasi dan aturan teknis. Terakhir perbaikan atau penyempurnaan regulasi, aturan teknis, program dan kebijakan, yaitu revisi, perbaikan, atau penyempurnaan terhadap peraturan daerah khusus, aturan pelaksana/ operasional, program dan kebijakan sesuai hasil evaluasi. Soal peraturan daerah khusus nomor 10, Ketut Sarjana Putra memandang langkah Papua Barat ini cukup berani tetapi positif untuk mendukung perbaikan iklim. Soalnya, kata dia, asas pelestarian alam, terutama hutan dan laut memerlukan target yang sangat khusus. Di sisi lain, kata dia, komitmen dalam menjaga laut untuk wilayah konservasi tetap mempertimbangkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Ketut optimistis pengembangan provinsi konservasi bisa diwujudkan jika pemerintah Papua Barat merencanakannya dengan matang. “Pembentukan ini tidak instan,” kata Ketut. Pencetus “provinsi konservasi” adalah Gubernur Papua Abraham Octavianus Atururi. Ia melihat contoh pembangunan Raja Ampat yang ia nilai berhasil mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Menurut Ketut, ekonomi Raja Ampat yang bertumpu pada perikanan bisa maju sehingga Gubernur Atururi berniat memproteksi 80% hutan Raja Ampat. Sebab, proteksi hutan yang baik dengan luas signifikan akan berdampak positif pada produksi perikanan, sembari meningkatkan juga nilai ekoturisme laut memakai kearifan lokal. Gesekan antara konservasi dan ekonomi, menurut Ketut, memang menjadi tantangan tersendiri. Karena itu terbitnya peraturan daerah khusus nomor 10 itu, kata dia, sebagai cara pemerintah menjamin keberlangsungan dua hal itu. Pembangunan ekonomi dilakukan dengan hati-hati memakai prinsip reduksi risiko terhadap lingkungan. Ia percaya pemerintah pusat juga memiliki komitmen yang sama untuk Papua Barat. Karena itu perlu ada koordinasi yang baik antar pusat dan daerah. “Misalnya pemerintah pusat ingin mengembangkan ekoturisme besar di Papua Barat sehingga harus dipilih mana wilayah untuk ekoturisme massal dan mana wilayah yang tak boleh,” kata Ketut. Ketut mengutip rencana Badan Perencana Pembangunan Nasional yang menjadikan Papua sebagai provinsi yang memiliki target pembangunan rendah karbon dan menjadi contoh pencapaian Tujuan Pembangunan Lestari SDG's “Peraturan Daerah Khusus Nomor 10 ingin menerjemahkan SDG itu,” kata dia. BERSAMA MELESTARIKAN BUMI Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum. Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan. Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp Topik
Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara Jl. Stadion No 65 Ternate 97712 Indonesia, Telp 0921 3127878, Faks 0921 3126301, E-mail bps8200 Untuk tampilan terbaik Anda dapat gunakan berbagai jenis browser kecuali IE, Mozilla Firefox 3-, and Safari dengan lebar minimum browser beresolusi 275 pixel. Hak Cipta © 2023 Badan Pusat Statistik Semua Hak Dilindungi
Lampung bisa menjadi model kawasan konservasi berbasis lanskap di Sumatera. Ada dua taman nasional di provinsi ini yang dapat dijadikan percontohan yaitu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan Taman Nasional Way Kambas [TNWK]. Lanskap adalah sebuah sistem sosial dan ekologi, terdiri ekosistem alami atau hasil modifikasi manusia yang dipengaruhi kegiatan ekologi, politik, ekonomi, historis, dan sosial budaya berbeda. Christine Wulandari, Ketua Program Studi Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, menyatakan pendekatan lanskap merupakan upaya mengakomodir setiap kepentingan, mulai ekologi, budaya, dan ekonomi lokal dalam satu bentang kawasan. Lima varibel yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis landskap di Lampung yaitu platform berbagai pemangku kepentingan, pemahaman bersama, perencanaan kolaboratif, pelaksanaan efektif, serta pemantauan. Apakah Lampung bisa mewujudkan diri sebagai model kawasan konservasi berbasis lanskap di Sumatera? Pertanyaan ini yang coba dibedah Christine Wulandari, Ketua Program Studi Magister Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung [Unila], saat mengawali diskusi virtual Mongabay Indonesia bertajuk Lampung Sebagai Model Kawasan Konservasi Sumatera, Kamis [25/6/2020]. Christine bukan orang sembarangan. Dia sudah mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk meneliti hutan di Indonesia, terlebih Lampung. Ketua Yayasan Kehutanan Masyarakat Indonesia ini dengan mantap mengatakan, Lampung bisa menjadi model kawasan konservasi berbasis lanskap. Ada dua taman nasional yang menjadi alasan utama Provinsi Lampung layak menjadi percontohan. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] dan Taman Nasional Way Kambas [TNWK]. Baca Hanya Badak Sumatera di Hati Mereka Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia TNBBS memiliki luas sekitar hektar dan hektar merupakan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan. TNBBS membentang dari ujung selatan Lampung [Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat, dan Pesisir Barat] mengiringi punggung pegunungan Bukit Barisan hingga ke Provinsi Bengkulu di bagian utara [Kabupaten Kaur]. Bukit Barisan Selatan merupakan satu dari tiga taman nasional di Sumatera yang mendapat penghargaan bergengsi dari UNESCO pada 2004. TNBBS bersama Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] dan Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] dinobatkan sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatera [TRHS] atau Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera. “TNBBS masuk lanskap hutan pegunungan Bukit Barisan yang berjejer dari Aceh hingga Lampung,” jelasnya. Sementara, Taman Nasional Way Kambas yang luasnya hektar, berada di tenggara Pulau Sumatera. Ekosistemnya berupa hutan hujan dataran rendah, rawa, hutan pantai, hingga mangrove. “Dua taman nasional ini tantangannya,” tutur anggota Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Lampung dan Nasional. Baca Berbagi Ruang, Kawanan Gajah Liar Tidak Lagi Resahkan Warga Pemerihan Taman Nasional Way Kambas yang merupakan habitat badak sumatera dan mamalia besar lainnya seperti gajah, harimau, beruang, dan tapir. Foto Rhett Butler/Mongabay Pengelolaan lanskap Christine menjelaskan, pengelolaan kawasan konservasi berbasis lanskap harus dimaksimalkan. Lanskap adalah sebuah sistem sosial dan ekologi, terdiri ekosistem alami atau hasil modifikasi manusia yang dipengaruhi kegiatan ekologi, politik, ekonomi, historis, dan sosial budaya berbeda. Dengan begitu, lanskap mempunyai karakter yang unik. “Dalam sebuah lanskap, kemungkinan terdapat berbagai macam pengelolaan atau penggunaan lahan. Misalnya untuk kehutanan, pertanian, peternakan, perikanan, serta konservasi keanekaragaman hayati.” Pendekatan lanskap merupakan upaya mengakomodir setiap kepentingan, mulai ekologi, budaya, dan ekonomi lokal dalam satu bentang kawasan. “Kuncinya adalah membangun konektivitas antar-kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati,” tutur dia. Tujuannya, melindungi hutan primer, pemulihan hutan dan habitat satwa yang terdegradasi, serta menyelesaikan konflik antara manusia dengan satwa liar. “Pelaksanaannya bisa melalui pendekatan kolaboratif, kemitraan dengan masyarakat, serta perpaduan pengetahuan dan kearifan lokal dengan ilmu dan teknologi moderen,” jelas dosen kehutanan yang juga Anggota Gugus Tugas Multipihak KSDAE-KLHK Bidang Pemberdayaan Masyarakat. Pengelolaan lanskap hendaknya ditetapkan oleh pemangku kepentingan. Demikian pula batas-batasnya yang merupakan kombinasi alam, lahan, wilayah adat, atau yurisdiksi dan administrasi. “Secara umum, pengelolaan lanskap mendukung pembangunan berkelanjutan yang berupaya mencari solusi agar tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak bertentangan.” Christine mengatakan, ada lima varibel yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis landskap di Lampung. “Rinciannya, platform berbagai pemangku kepentingan, pemahaman bersama, perencanaan kolaboratif, pelaksanaan efektif, serta pemantauan. Ini fokusnya,” jelasnya. Selain TNBBS dan TNWK, Lampung memiliki kawasan konservasi yang telah dikenal masyarakat luas Cagar Alam Kepulauan Krakatau [13. 365 hektar] dan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman [ hektar]. Baca Ketika Konflik Gajah Tidak Lagi Merugikan Warga Braja Harjosari Badak sumatera yang berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia Lestarikan satwa kunci Kepala SKW III Lampung BKSDA Bengkulu-Lampung, Hifzon Zawahiri, menyetujui pengelolaan lanskap sebagai solusi menjaga keanekaragaman hayati dan satwa kunci di hutan konservasi Lampung. Kepada Mongabay Indonesia, Hifzon menjelaskan, hutan tersebut merupakan habitatnya badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], harimau sumatera [Panther tigris sumatrae], gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], beruang madu Helarctos malayanus, burung rangkong gading [Rhinoplax vigil], dan juga bunga Rafflesia arnoldii. “Satwa kunci itu memiliki wilayah jelajah, kalau tidak dikelola dengan pendekatan lanskap tentunya habitat mereka berubah dan hidupnya terancam,” terangnya, Sabtu [27/6/2020]. Hifzon menjelaskan, pihak SKW III BKSDA Bengkulu-Lampung terus mendorong pengelolaan landskap guna menjaga nilai ekologi yang bergandengan dengan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar penyangga hutan konservasi. “Hidup berdampingan itu indah. Satwa tetap di koridornya tanpa gangguan dan manusia dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi berkelanjutan.” Baca Lampung Barat Sebagai Kabupaten Konservasi, Apa Tantangannya? Rhino Protection Unit di TNBBS tengah berpatroli di sekitar taman nasional, guna mencegah terjadinya perburuan satwa liar dan perambahan hutan. Foto Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia Komitmen menjaga hutan Berdasarkan SK. Menhutbun No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, luas hutan negara di Lampung sekitar hektar. Rinciannya, hutan konservasi [ hektar], hutan lindung [ hektar], dan hutan produksi [ hektar]. Sejauh ini, luas kawasan hutan yang rusak di Provinsi Sai Bumi Ruwa Jurai’ diperkirakan sekitar 37,42% atau hektar. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Wiyogo Supriyanto, menyadari ancaman tersebut. “Kondisinya terjadi di hutan konservasi, hutan lindung, dan lainya. Utamanya adalah pembalakan liar [illegal logging],” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [08/7/2020]. Dia menceritakan, betapa susahnya menjaga hutan itu dari tangan-tangan tak bertanggung jawab. Medio Januari-Juni 2020, pihaknya mendata 15 kasus tindak pidana. Kejadian terbaru, Ahad [14/6/2020], Dinas Kehutanan Lampung mengamankan delapan orang terkait penebangan liar di kawasan Register 17 dan 35 di Kecamatan Katibung, Lampung Selatan. Barang bukti berupa lima kubik kayu jati. Tiga hari sebelumnya, Kamis [11/6/2020], tim mengamankan sebuah Mobil Truck Colt Diesel memuat 120 batang kayu sonokeling. Diduga, hasil rambahan di hutan KPH Tahura Wan Abdul Rachman. “Sedangkan 2019, tercatat ada 37 kasus,” kata alumni Institut Pertanian Bogor [IPB]. Pembalakan liar, menyebar dari KPH Liwa, KPH Pematang Neba, KPH Way Waya, Taman Hutan Raya [Tahura] Wan Abdul Rachman, KPH Betutegi, KPH Sungai Buaya, KPH Rajabasa, hingga KPH Kota Agung Utara. Masalahnya, kata Wiyogo, sampai kini penangkapan hanya ditataran sopir, tukang tebang dan pengangkut. Sementara pemodal dan cukong sering tak tersentuh. “Kami kesulitan membongkar mafia ini, seperti ada yang melindungi.” Baca juga Kisah Klasik Tahura Wan Abdul Rachman, Dari Konflik Menuju Konsep Ekowisata Kopi yang menjadi andalan masyarakat Lampung. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia Salah satu pemodal sekaligus penadah kayu yang tengah diproses hukum bernama Cecep. Dia jaringan Lampung-Jawa yang fokus menampung sonokeling. Kayu ini masuk kategori kayu keras, bagian tengah cokelat kehitaman, terkadang memiliki corak loreng cokelat tua. Sering digunakan sebagai bahan dasar furnitur, bahkan kualitasnya menyaingi jati, karena awet dan mampu menangkal jamur. “Permintaannya banyak dan jaringan mereka luas. Kami terus berupaya memberantas pembalakan liar meski dengan personil terbatas.” Wiyogo menjelaskan, upaya yang terus dilakukan pihaknya adalah patroli rutin di hutan, penyuluhan ke masyarakat, serta mendirikan Unit Pelaksana Teknis Dinas [UPTD] Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] di hutan konservasi dan hutan lindung. “Ada 15 pos KPH dan satu pos di tahura. Hutan konservasi Lampung yang luas, memang harus dikelola secara baik dan berkelanjutan. Ini tanggung jawab kita pada generasi mendatang,” tegasnya. Artikel yang diterbitkan oleh
pusat konservasi hutan lumut berada di provinsi